Friday, October 28, 2011

Mengenang "Sumpah"

83 tahun lalu Sumpah itu dijunjung tinggi. dihargai keberadaannya, diresapi maknanya.
ia adalah hasil pemikiran pemuda-pemuda bangsa yang sedang berjuang membangun sebuah bangsa.
83 tahun kemudian, hari itu masih dikenang. Sumpah itu masih dilafalkan.
tapi apakah kata-katanya masih dimaknai?

83 tahun lalu pembacaan sumpah itu diakhiri dengan iringan lagu "Indonesia Raya".
sekarang, konser-konser digelar untuk memperingati pembacaannya.
bahkan, ada yang dengan bangga akan menggelar konser dengan salah satu konsep acaranya 'memberikan kejutan dengan menyuguhkan musik ala Korea atau K-Pop' (tribunnews.com). menakjubkan.
konser lain juga diadakan, kali ini agak 'mini'. jangan salahkan saya kalau saya mengangkat sebelah alis waktu disampaikan dalam infotainment, 'konser ini digelar untuk meningkatkan rasa persatuan bangsa' dan konser tersebut diadakan di salah satu Mall di kota besar di Indonesia.
Persatuan? apakah konser di Mall akan mempersatukan pemuda Indonesia?
okelah lagu-lagu yang akan dinyanyikan adalah lagu Nasional, toh cuma dinyanyikan saat Sumpah Pemuda dan 17 Agustus saja.

selebrasi. refleksi.
17 Agustus dan hari Kebangkitan Nasional adalah ajang tepat untuk refleksi diri.
haruskah cermin itu hanya digunakan saat tanggal-tanggal tertentu saja?
seberapa sering anda bercermin dalam satu tahun? atau satu bulan? atau satu hari?
saya yakin anda tidak akan tahan kalau hanya bercermin dua kali setahun.
sayangnya ini hanyalah sebuah selebrasi. kebetulan bisa refleksi diri.
perayaan yang kebetulan bisa pasang logo 'nasionalis' di depan dada supaya dilihat banyak orang. banyak orang pun akhirnya mau dipasangi logo yang sama. setelah jam 00.00, logo dilepas. untung-untung kalau masih ada yang pakai.
perayaan yang dikomersialisasi. konser? yeah right. pemuda lain hanya sebagai penonton, yang berteriak-teriak mengidolakan kawan yang kebetulan lebih jago nyanyi.

demo aktivis yang identik dengan anarkis.
mengaku aktivis idealis tapi tidak bisa bertindak ideal.
menyebabkan kekacauan hingga yang dibela pun bingung siapa yang dibela.
mungkin sekarang memang susah mencari aktivis intelek idealis yang tidak anarkis tapi solutif kreatif.


bukannya saya sinis, saya hanya bingung.
hm.
sepertinya saya terlalu sering bingung.
dan terlalu sering duduk di depan tv sambil mengangkat sebelah alis.

1 comment:

Anonymous said...

benar semua memang hanya sebatas selebrasi dengan ujung-ujungnya duit, rating dan biar dibilang nasionalis. 83 tahun yang lalu para pemuda bangkit dengan semangatnya meski dengan pemuda terdidik dengan jumlah minoritas, namun mereka mampu mengubah sejarah, tdk terpikirkan oleh mereka pejuangku (yg mungkin kalian bukan anggap pejuang) mengorbankan seluruh apa yang ada.., bahkan dengan nyawa sekalipun, namun pemuda hari ini dengan jumlah terdidik yamg lebih banyak, apa yang kita lakukan..? siapa yang di idolakan? merasa bangsa ini telah sempurna? atau sengaja menutup mata atasnya? ingatlah cita-cita mereka sederhana seluruh rakyat adil dan makmur, setelah 83 tahun... sudahkah? kini para pejuangku yang masih hidup hanya terduduk di trotoar dengan wajah keriput memandang ke arah antrian tunjangan hidup yang hanya cukup untuk biaya hidup 3 hari.., namun cita-cita mereka tetap ada dan masih berharap... suatu saat nanti mereka akan berkata lihatlah nak... inilah indonesiaku yang besar, jaya dan disegani dunia, kami bangga kalian melanjutkan perjuangan kami... jayalah indonesiaku.... -rcloud-